PANGKEP merupakan daerah yang
sangat tua, beberapa sejarawan menduga bahwa sejarah daerah ini sama tuanya
dengan Sejarah Luwu dan Bantaeng. Daerah ini adalah daerah bekas pusat wilayah
kerajaan kuna yang disebut Kerajaan Siang. Hasil penelitian arkeologi
(Kerjasama UNHAS dengan Balai Penelitian Arkeologi Makassar) ditemukan
emplasemen situsnya berada di SengkaE, Bori Appaka Kecamatan Bungoro. Kerajaan
Siang kuna adalah sebuah kerajaan yang pernah mengalami masa kejayaan dan
kemasyhuran sebagai kerajaan besar dan terkemuka di semenanjung barat Sulawesi
Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo. (Christian Pelras, 1973 : 54).
Kerajaaan Siang adalah sebuah
pusat perdagangan penting dan sangat mungkin juga secara politik antara Abad
XIV hingga Abad XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan
daerah yang dulunya dikenal Lima’e Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan
kerajaan Makassar, yakni Gowa dan Tallo (Andaya, 1981). Dari segi wilayah
pemerintahan dan pengaruh kekuasaan, jelas lebih besar pengaruh dan kekuasaan
Kerajaan Siang delapan abad lampau dibandingkan wilayah daerah yang sekarang
dikenal bernama Kabupaten Pangkep .
Dalam nomenklatur Portugis, “Siang”
disebut, Sciom atau Ciom, beberapa kali disebut dalam catatan para pelaut
Portugis sebagai salah satu tempat penting dengan pelabuhan niaganya yang ramai
di semenanjung barat Sulawesi, yang kemungkinan pernah berkembang sejak abad
XV. (Bedakan dengan Siam, yang menunjuk kepada Negeri Thailand). Nama “Siang”,
secara etimologis berasal dari kata “kasiwiang” atau “kasuwiang”, yang berarti
persembahan kepada raja (homage rendu a’ un souverain). (Pelras, 1977 : 253).
Prof Dr HA Zaenal Abidin Farid
menduga bahwa raja – raja keturunan Gowa dan Tallo adalah merupakan turunan
dari raja – raja Siang. Kerajaan Siang 200 tahun lebih tua dari kemunculan Gowa
– Tallo. Penurunan pengaruh Siang dalam catatan Portugis disebutkan karena
penyempitan pelabuhannya yang diakibatkan oleh aktifitas pendangkalan dan erosi
yang berlangsung sangat lama sehingga tak ramai lagi dikunjungi para pedagang
dari sebelah barat kepulauan Nusantara. (Abidin, 1985)
Menurut Prof Dr Syaharuddin
Kaseng, dalam sejarahnya yang panjang, Gowa dan Tallo pernah dibawah dominasi
Siang, nanti pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumapakrisika
Kallonna menjadikan Siang sebagai palili lewat strategi kawin mawin. Penerus
Dinasti Siang di sebelah utaranya, Barasa juga tidak berumur lama karena tak lama
juga ditaklukkan oleh Gowa dengan bantuan laskar Labakkang. Kebangsawanan
Barasa inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya kekaraengan di Pangkajene, di
penghujung Abad XVII dan awal Abad XVIII. (Kaseng, 1985).
Dalam pemerintahan kerajaan, ada jabatan atau
pangkat yang disebut “bate-anak-karaeng”. Awalnya “bate-anak-karaeng” merupakan
daerah-daerah bebas dan berdiri sendiri. Kemudian daerah-daerah itu dikalahkan
dan menjadi daerah takluk Kerajaan Gowa. Lalu daerah-daerah itu dihadiahkan
oleh Raja Gowa kepada salah seorang anak karaeng atau anak raja/anak bangsawan.
“Anak Karaeng” inilah yang menjadi raja kecil atau penguasa di daerah
“bate-anak-karaeng”. Semua rakyat di daerah itu harus tunduk dan melaksanakan
perintah “anak karaeng” yang menjadi raja kecil/kerajaan bawahan Gowa tersebut.
Tiap – tiap daerah / kerajaan –
kerajaan kecil itu juga mempunyai pola hubungan yang sangat dekat satu sama
lain sebagai hasil dari produk kawin-mawin antar keluarga kerajaan, bahkan
dengan Kerajaan lain yang ada di semenanjung timur Sulawesi, seperti Kerajaan
Luwu dan Wajo. Sebagai contoh, Kerajaan Labakkang banyak mengadakan kawin-mawin
dengan keluarga Kerajaan Gowa, sehingga rajanyapun bergelar Somba. Salah satu
rajanya, Somba Labbakkang La Upa, diperkirakan sebagai keturunan raja – raja
Luwu dari Kerajaan Tanete, keturunan langsung dari Datu Luwu XXIV dan XXVI .
Sombaya La Upa ini memperistri puteri Raja Tallo. Cucu wanitanya, I Biba Daeng
Pa’ja Karaengta Campagaya yang dikawini oleh La Sulili Matinroe ri Malili dari
Soppeng/Luwu yang memperanakkan Andi Arif Matinroe ri Balang (Raja Labakkang).
Kemudian menurunkan Sanapipa Daeng Niasi, Karaeng Sapanang yang menurunkan
Somba Gowa, Andi Ijo Karaeng Lalolang, Andi Calla Daeng Muntu Karaengta Ujung
(yang menggantikan ayahnya menjadi raja), Andi Yusuf Daeng Patangnga Karaengta
Malise dan Andi Maruddani Karaeng Bonto-Bonto.
Kerajaan – kerajaan (kekaraengan)
kecil di Pangkep dipimpin oleh bate-bate’a yang masih punya hubungan
kekerabatan langsung dengan keluarga Kerajaan Gowa sebagaimana halnya dengan
Kerajaan Labakkang. Lain halnya dengan Segeri, kerajaan ini diperintah oleh
raja – raja keturunan Luwu yang berkuasa di Kerajaan Tanete, disebabkan rakyat
Segeri sendiri yang memintanya. Diantaranya, La Maddusila Karaeng Tanete yang memperanakkan
La Patau, yang memperistri Besse Tungke, yang melahirkan putera – puteri,
diantaranya La Sameggu Daeng Kalebbu. Beliau inilah yang pernah memimpin
gerakan perlawanan rakyat terhadap Belanda sekitar tahun 1855 bekerjasama
dengan Ambo Dalle, Putera La Rumpang dari Addatuang Tanete (sekarang Barru), Dg
Siruwa dari Bontoa, Dulung Lamuru dari Bone dan beberapa raja kecil yang
bertetangga dengan Segeri. La Sameggu Daeng Kalebbu waktu itu diadu domba
dengan Raja Segeri V La Pakkanna, yang masih merupakan keluarga dekatnya. La
Pakkanna digantikan oleh ‘La Paddare Daeng Manangkasi’ sebagai Raja Segeri ke
VI. (Makalah Syaharuddin Kaseng, 1986).
Produk sistem kawin mawin Kerajaan
Gowa dengan keluarga kerajaan – kerajaan kecil dalam wilayah Kerajaan Siang serta
pengaruh Kerajaan Bone serta Kerajaan – kerajaan dalam wilayah semenanjung
timur Sulawesi sebagai kerajaan – kerajaan yang pernah menancapkan pengaruhnya
pada daerah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Pangkep, yang membuat
daerah ini dihuni oleh etnis Bugis Makassar dalam satu wilayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar