Rabu, 21 Maret 2012

kerajaan siang


PANGKEP merupakan daerah yang sangat tua, beberapa sejarawan menduga bahwa sejarah daerah ini sama tuanya dengan Sejarah Luwu dan Bantaeng. Daerah ini adalah daerah bekas pusat wilayah kerajaan kuna yang disebut Kerajaan Siang. Hasil penelitian arkeologi (Kerjasama UNHAS dengan Balai Penelitian Arkeologi Makassar) ditemukan emplasemen situsnya berada di SengkaE, Bori Appaka Kecamatan Bungoro. Kerajaan Siang kuna adalah sebuah kerajaan yang pernah mengalami masa kejayaan dan kemasyhuran sebagai kerajaan besar dan terkemuka di semenanjung barat Sulawesi Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo. (Christian Pelras, 1973 : 54).
Kerajaaan Siang adalah sebuah pusat perdagangan penting dan sangat mungkin juga secara politik antara Abad XIV hingga Abad XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang dulunya dikenal Lima’e Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan kerajaan Makassar, yakni Gowa dan Tallo (Andaya, 1981). Dari segi wilayah pemerintahan dan pengaruh kekuasaan, jelas lebih besar pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Siang delapan abad lampau dibandingkan wilayah daerah yang sekarang dikenal bernama Kabupaten Pangkep .
Dalam nomenklatur Portugis, “Siang” disebut, Sciom atau Ciom, beberapa kali disebut dalam catatan para pelaut Portugis sebagai salah satu tempat penting dengan pelabuhan niaganya yang ramai di semenanjung barat Sulawesi, yang kemungkinan pernah berkembang sejak abad XV. (Bedakan dengan Siam, yang menunjuk kepada Negeri Thailand). Nama “Siang”, secara etimologis berasal dari kata “kasiwiang” atau “kasuwiang”, yang berarti persembahan kepada raja (homage rendu a’ un souverain). (Pelras, 1977 : 253).
Prof Dr HA Zaenal Abidin Farid menduga bahwa raja – raja keturunan Gowa dan Tallo adalah merupakan turunan dari raja – raja Siang. Kerajaan Siang 200 tahun lebih tua dari kemunculan Gowa – Tallo. Penurunan pengaruh Siang dalam catatan Portugis disebutkan karena penyempitan pelabuhannya yang diakibatkan oleh aktifitas pendangkalan dan erosi yang berlangsung sangat lama sehingga tak ramai lagi dikunjungi para pedagang dari sebelah barat kepulauan Nusantara. (Abidin, 1985)
Menurut Prof Dr Syaharuddin Kaseng, dalam sejarahnya yang panjang, Gowa dan Tallo pernah dibawah dominasi Siang, nanti pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumapakrisika Kallonna menjadikan Siang sebagai palili lewat strategi kawin mawin. Penerus Dinasti Siang di sebelah utaranya, Barasa juga tidak berumur lama karena tak lama juga ditaklukkan oleh Gowa dengan bantuan laskar Labakkang. Kebangsawanan Barasa inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya kekaraengan di Pangkajene, di penghujung Abad XVII dan awal Abad XVIII. (Kaseng, 1985).
Dalam pemerintahan kerajaan, ada jabatan atau pangkat yang disebut “bate-anak-karaeng”. Awalnya “bate-anak-karaeng” merupakan daerah-daerah bebas dan berdiri sendiri. Kemudian daerah-daerah itu dikalahkan dan menjadi daerah takluk Kerajaan Gowa. Lalu daerah-daerah itu dihadiahkan oleh Raja Gowa kepada salah seorang anak karaeng atau anak raja/anak bangsawan. “Anak Karaeng” inilah yang menjadi raja kecil atau penguasa di daerah “bate-anak-karaeng”. Semua rakyat di daerah itu harus tunduk dan melaksanakan perintah “anak karaeng” yang menjadi raja kecil/kerajaan bawahan Gowa tersebut.
Tiap – tiap daerah / kerajaan – kerajaan kecil itu juga mempunyai pola hubungan yang sangat dekat satu sama lain sebagai hasil dari produk kawin-mawin antar keluarga kerajaan, bahkan dengan Kerajaan lain yang ada di semenanjung timur Sulawesi, seperti Kerajaan Luwu dan Wajo. Sebagai contoh, Kerajaan Labakkang banyak mengadakan kawin-mawin dengan keluarga Kerajaan Gowa, sehingga rajanyapun bergelar Somba. Salah satu rajanya, Somba Labbakkang La Upa, diperkirakan sebagai keturunan raja – raja Luwu dari Kerajaan Tanete, keturunan langsung dari Datu Luwu XXIV dan XXVI . Sombaya La Upa ini memperistri puteri Raja Tallo. Cucu wanitanya, I Biba Daeng Pa’ja Karaengta Campagaya yang dikawini oleh La Sulili Matinroe ri Malili dari Soppeng/Luwu yang memperanakkan Andi Arif Matinroe ri Balang (Raja Labakkang). Kemudian menurunkan Sanapipa Daeng Niasi, Karaeng Sapanang yang menurunkan Somba Gowa, Andi Ijo Karaeng Lalolang, Andi Calla Daeng Muntu Karaengta Ujung (yang menggantikan ayahnya menjadi raja), Andi Yusuf Daeng Patangnga Karaengta Malise dan Andi Maruddani Karaeng Bonto-Bonto.
Kerajaan – kerajaan (kekaraengan) kecil di Pangkep dipimpin oleh bate-bate’a yang masih punya hubungan kekerabatan langsung dengan keluarga Kerajaan Gowa sebagaimana halnya dengan Kerajaan Labakkang. Lain halnya dengan Segeri, kerajaan ini diperintah oleh raja – raja keturunan Luwu yang berkuasa di Kerajaan Tanete, disebabkan rakyat Segeri sendiri yang memintanya. Diantaranya, La Maddusila Karaeng Tanete yang memperanakkan La Patau, yang memperistri Besse Tungke, yang melahirkan putera – puteri, diantaranya La Sameggu Daeng Kalebbu. Beliau inilah yang pernah memimpin gerakan perlawanan rakyat terhadap Belanda sekitar tahun 1855 bekerjasama dengan Ambo Dalle, Putera La Rumpang dari Addatuang Tanete (sekarang Barru), Dg Siruwa dari Bontoa, Dulung Lamuru dari Bone dan beberapa raja kecil yang bertetangga dengan Segeri. La Sameggu Daeng Kalebbu waktu itu diadu domba dengan Raja Segeri V La Pakkanna, yang masih merupakan keluarga dekatnya. La Pakkanna digantikan oleh ‘La Paddare Daeng Manangkasi’ sebagai Raja Segeri ke VI. (Makalah Syaharuddin Kaseng, 1986).
Produk sistem kawin mawin Kerajaan Gowa dengan keluarga kerajaan – kerajaan kecil dalam wilayah Kerajaan Siang serta pengaruh Kerajaan Bone serta Kerajaan – kerajaan dalam wilayah semenanjung timur Sulawesi sebagai kerajaan – kerajaan yang pernah menancapkan pengaruhnya pada daerah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Pangkep, yang membuat daerah ini dihuni oleh etnis Bugis Makassar dalam satu wilayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar